Materi Revisi Permendag 50/2020 Sudah di Istana: Apa yang Berubah untuk E-commerce?

Pemerintah Indonesia telah mencapai tahap penting dalam proses revisi Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 50 tahun 2020 tentang Perizinan Usaha, Periklanan, Pembinaan, dan Pengawasan Pelaku Usaha dalam Perdagangan Melalui Elektronik (PPMSE). Menteri Koperasi dan UKM, Teten Masduki mengumumkan bahwa materi revisi tersebut telah mencapai tahap akhir dan kini sedang dibahas di Istana Negara. Pada kunjungan di Pasar Tanah Abang Jakarta Pusat pada Selasa, (19/09/23). Teten Masduki mengungkapkan bahwa proses harmonisasi peraturan telah selesai pada tanggal 9 September dan saat ini sedang dalam tahap pembahasan di Istana.

Pemerintah telah menyusun sejumlah usulan yang akan diatur dalam perubahan Permendag ini. Salah satunya adalah mengenai penggunaan media sosial sebagai platform e-commerce. Dalam peraturan baru ini, media sosial tidak dapat secara otomatis dianggap sebagai e-commerce. Untuk berfungsi sebagai platform e-commerce, media sosial harus memperoleh izin terpisah.

Selain itu, peraturan baru juga akan mengatur bahwa e-commerce maupun social commerce tidak diizinkan untuk berperan sebagai produsen atau wholesaler tanpa izin khusus. Jika perusahaan ingin menjadi produsen, mereka harus memperoleh izin tersendiri.

Pembatasan impor juga menjadi perhatian dalam revisi Permendag ini. Impor akan dibatasi, dengan prioritas impor diberikan hanya untuk produk yang tidak tersedia di Indonesia. Produk yang dapat diproduksi secara lokal akan tetap diizinkan untuk diimpor sesuai dengan prosedur impor yang berlaku.

Kemendag juga akan menyusun daftar produk yang diperbolehkan untuk diimpor, sebagai bagian dari upaya mengatur impor dengan lebih ketat. Selain itu, produk yang diperdagangkan dalam social commerce harus memenuhi standar produk dan mematuhi Standar Nasional Indonesia (SNI).

Menteri Perdagangan, Zulkifli Hasan, menggarisbawahi pentingnya peraturan baru ini untuk menjaga keberlanjutan bisnis e-commerce di Indonesia. Dia mengatakan bahwa jika social commerce tidak diatur dengan baik, e-commerce yang ada dapat menghadapi ancaman penutupan dalam waktu enam bulan. Hal ini penting mengingat rencana investasi besar-besaran dari platform seperti Tiktok, yang berencana untuk menginvestasikan sekitar US$10 miliar di Indonesia pada tahun mendatang.

Dengan tahap harmonisasi peraturan yang telah selesai pada 9 September, kita dapat mengantisipasi perkembangan lebih lanjut dalam waktu dekat terkait perubahan signifikan dalam regulasi perdagangan elektronik di Indonesia. Perubahan ini bertujuan untuk menghadirkan lingkungan yang lebih teratur dan adil bagi pelaku bisnis e-commerce dan social commerce di Indonesia.