Sektor pertambangan, khususnya pungutan batu bara, menjadi salah satu penyumbang besar penerimaan negara. Pada 2023, kontribusinya tercatat mencapai 3,6 persen terhadap PDB nasional, dengan sektor pertambangan secara keseluruhan menyumbang 10,5 persen.
Namun, pelaku usaha mengeluhkan banyaknya pungutan yang harus dibayar. Mulai dari pajak penghasilan, PPN, PBB pertambangan, iuran tetap, royalti, hingga dana reklamasi dan CSR. Kompleksitas ini dinilai memberatkan dan kerap menimbulkan sengketa antara wajib pajak dan fiskus.
Dalam praktiknya, dasar pengenaan pajak (DPP) mengacu pada tiga aspek, yaitu harga penjualan, biaya produksi, dan jumlah produksi. Skema ini membuat pungutan terasa tumpang tindih serta berisiko menurunkan iklim investasi.
Usulan Penyederhanaan Pungutan Batu Bara
Salah satu wacana yang muncul adalah penghapusan iuran royalti. Alasannya, aspek penjualan dan penghasilan di sektor batu bara sudah dikenakan PPh dan PPN. Dengan demikian, penghapusan royalti diyakini tidak serta merta menurunkan penerimaan negara.
Sebagai gantinya, pemerintah bisa meningkatkan kapitalisasi PBB pertambangan dan meniadakan pengurang biaya produksi dalam perhitungan NJOP. Langkah ini diharapkan memberikan kepastian hukum bagi pelaku usaha sekaligus menjaga penerimaan negara tetap optimal.
Selain itu, penyederhanaan pungutan juga bisa mengurangi dispute yang sering terjadi di lapangan. Jika aturan lebih jelas dan sederhana, investor akan lebih percaya diri menanamkan modalnya di sektor strategis ini.
Reformasi pungutan batu bara diperlukan untuk menciptakan sistem yang lebih sederhana, adil, dan pasti. Usulan penghapusan royalti menjadi salah satu opsi yang patut dikaji serius agar sektor pertambangan tetap mendukung pertumbuhan ekonomi tanpa mengorbankan penerimaan negara.
Demikian informasi seputar isu soal pungutan batu bara. Untuk berita ekonomi, bisnis dan investasi terkini lainnya hanya di Ollowearables.Com.